Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".[8] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya.[3] Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.[9]
Menurut naskah Wangsakerta,
naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan
sebagai sumber sejarah, karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda
merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan
bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja
Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya
selama tiga tahun, 666-669
M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari,
beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri
sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua,
Sobakancana menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada
menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun
(612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara serta mendirikan Kerajaan Galuh
yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan
Tarumanagara dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu
sungai Cipakancilan, di daerah sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar (dekat Bogor saat ini), sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Wilayah Kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda
yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali
pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan
Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten, maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Masa Penurunan
Sepeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun kepada putranya, Prabu
Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543),
Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567) serta Prabu
Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini
merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah
beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, akhirnya kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Persekutuan Sunda - Galuh
Putera Tarusbawa
yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa
ini dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, dan mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi beda ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara kemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang
sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan
untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723),
kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya,
Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan
kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran.
Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739),
lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita
rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga)
di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Berhubung anaknya perempuan, maka Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795), karena Rakryan Hujungkulon hanya mempunyai anak perempuan,
maka kekuasaan Sunda jatuh kepada menantunya, Rakryan Diwus (dengan
gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh kepada puteranya, Rakryan Wuwus,
yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh kepada adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan.
Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia
dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan kepada putranya,
Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini kemudian diturunkan kepada putera
sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading
menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, kemudian direbut oleh
adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28
tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun
942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut
kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang
Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera
sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Berhubung tidak mempunyai putera
dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh kepada adik iparnya, Rakryan
Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya kepada
puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu
Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan
kepada puteranya, lalu kepada cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya,
Dharmaraja (1042-1064), lalu kepada cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi
((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan
Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada
putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun
(1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12
tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang
terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama
enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya,
Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311),
kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333), karena
hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya kepada
menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian kepada Prabu
Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan
diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357),
yang menjelang akhir kekuasaannya gugur saat Perang Bubat, karena saat kejadian di Bubat, putranya - Niskalawastukancana - masih
kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang
Prabu Bunisora (1357-1371).
Sepeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi kepada putra
Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104
tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai
putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan
bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu
Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat
pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab
sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay
Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di
daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan
menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra
Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh
Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar